Kurawalmedia.com, Tanjungpinang – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memperkuat pemantauan atmosfer tropis melalui fasilitas riset Lidar (Light Detection and Ranging) yang berlokasi di Kototabang, Sumatera Barat.
Fasilitas ini merupakan hasil kolaborasi antara BRIN dan Tokyo Metropolitan University, Jepang.
“Kolaborasi riset, khususnya terkait Lidar, sangat penting untuk meningkatkan pemahaman terhadap dinamika cuaca dan iklim di wilayah tropis seperti Indonesia,” ungkap M. Syarif Ramadan, Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN.
Lidar merupakan teknologi pemantauan jarak jauh aktif berbasis laser yang dipancarkan secara vertikal ke atmosfer.
Teknologi ini digunakan untuk mendeteksi berbagai elemen atmosfer seperti aerosol, debu, ozon, dan uap air.
Pemasangannya di wilayah khatulistiwa sangat krusial karena memungkinkan pengamatan parameter atmosfer yang khas dan kompleks di daerah tropis.
“Jika Equatorial Atmosphere Radar (EAR) digunakan untuk mengukur turbulensi udara, maka Lidar difungsikan untuk mengukur tinggi dan ketebalan awan,” jelas Syarif.
Lidar bekerja dengan memancarkan sinar laser ke atmosfer.
Sinar ini kemudian dipantulkan oleh awan dan partikel lainnya.
Intensitas pantulan serta waktu tempuh sinar yang kembali ke sensor akan dihitung untuk menentukan ketinggian dan ketebalan awan.
Di Kototabang, sistem ini dirancang untuk menjangkau ketinggian hingga 20 kilometer.
Syarif juga menjelaskan prinsip kerja Mie-LIDAR, di mana sinar laser dipantulkan menggunakan lensa dan cermin, diarahkan ke atmosfer, lalu dipantulkan kembali oleh partikel di troposfer.
Sinyal pantulan ini kemudian ditangkap oleh teleskop dan diolah menggunakan photon detector serta sistem konversi digital.
“Laser yang digunakan memiliki panjang gelombang 532 nm, dengan teleskop berdiameter 20 cm,” tambahnya.
Data yang dihasilkan digunakan oleh berbagai lembaga nasional dan internasional, termasuk universitas dan instansi pemerintah yang fokus pada pemantauan cuaca, penelitian atmosfer dan ionosfer, hingga pengembangan model iklim.
“Kolaborasi dalam dan luar negeri sangat penting untuk membangun pemahaman global tentang peran atmosfer tropis dalam sistem iklim dunia,” ujar Syarif.
Profesor Shibata dari Tokyo Metropolitan University mengungkapkan bahwa riset atmosfer di wilayah khatulistiwa menghadapi tantangan seperti cuaca ekstrem, awan tebal, serta gangguan sinyal dari sinar matahari.
Untuk itu, sejumlah peningkatan dilakukan, seperti penggantian signal processing unit, perbaikan kabel di tiap modul antena, dan penggantian uninterruptible power supply (UPS) cadangan agar suplai listrik tetap stabil selama pemadaman.
“Sistem pemantauan Lidar beroperasi 24 jam non-stop. Suplai listrik yang konsisten adalah syarat utama agar data yang dikumpulkan tetap akurat,” ujar Shibata.
Ia juga memastikan bahwa meskipun ada pembaruan infrastruktur, sistem pengamatan tetap berjalan seperti biasa.
“Pemeliharaan dilakukan secara berkala setiap enam bulan,” tandasnya.(*)
Editor: Brp